![]() |
KA Sawunggalih (Sumber Foto: Group Facebook/kereta api |
Di tengah hiruk-pikuk moda transportasi yang makin beragam, ada satu nama yang tetap punya tempat khusus di hati masyarakat Jawa Tengah bagian selatan: Kereta Api Sawunggalih.
Menghubungkan Kutoarjo di Purworejo dengan ibu kota Jakarta, kereta ini bukan cuma soal gerbong dan lokomotif—ia adalah bagian dari kehidupan para perantau, para pekerja, dan keluarga yang merindukan kampung halaman.
Awal Lahirnya Kereta Sawunggalih
Perjalanan panjang Sawunggalih dimulai sejak 31 Mei 1977, saat PT Kereta Api (sekarang PT KAI) meluncurkan layanan kereta kelas bisnis bernama “Sawunggalih”. Nama ini diambil dari tokoh legendaris Ki Ageng Sawunggalih, pendiri kerajaan kecil di wilayah Kedu. Sentuhan sejarah ini menjadikan Sawunggalih bukan sekadar alat angkut, tapi juga simbol identitas dan kebanggaan lokal.
Di masa awalnya, Sawunggalih menyasar kalangan menengah yang ingin perjalanan nyaman namun tetap terjangkau. Saat itu, gerbongnya masih berjenis bisnis, tanpa AC. Tapi seiring waktu, ekspektasi penumpang berubah, dan Sawunggalih pun bertransformasi.
Krisis moneter 1998 sempat membuat operasionalnya terguncang. Inovasi seperti layanan Sawunggalih Plus sempat dicoba, tapi tidak bertahan lama. Namun alih-alih tenggelam, nama Sawunggalih justru bangkit lagi lewat penyatuan dengan layanan Kutojaya Bisnis, menjadi Sawunggalih Utama. Puncaknya terjadi pada tahun 2012, ketika kereta ini mulai dilengkapi AC split di kelas bisnis, menaikkan standar kenyamanan yang baru.
Perubahan Besar
Perubahan paling besar terjadi pada 27 Agustus 2018, saat PT KAI melakukan pembaruan besar-besaran. Wajah Sawunggalih berubah total: hadir dengan 2 gerbong eksekutif model baru berbahan stainless steel, serta 5 gerbong ekonomi premium yang tampil lebih elegan. Ekonomi rasa eksekutif. Penumpang kini bisa menikmati kursi reclining, pendingin ruangan, dan interior modern, sejajar dengan kereta jarak jauh lainnya.
Rutenya tetap setia: Kutoarjo – Jakarta Pasar Senen, melewati jalur sibuk seperti Kroya, Purwokerto, Cirebon, hingga Cikarang. Di balik laju kereta, lokomotif legendaris seperti CC 201 dan CC 203 pernah menjadi penarik setia. Kini, perannya dilanjutkan oleh generasi CC 206 yang lebih tangguh.(*)
Okupansi Tetap Tinggi
Lebih dari sekadar alat transportasi, Sawunggalih adalah jembatan harapan dan penggerak ekonomi. Ia menghubungkan kota dan desa, mempertemukan keluarga yang lama terpisah, dan menghidupkan pasar-pasar kecil di sepanjang lintasan selatan Jawa. Tak heran jika okupansinya selalu tinggi—bahkan saat pandemi menerpa, ia tetap jadi pilihan banyak orang.
Kini, di tahun 2025, Sawunggalih bukan lagi sekadar kereta. Ia adalah saksi bisu perjuangan para perantau, napas kehidupan dari Kutoarjo hingga Jakarta, dan tentu saja, kebanggaan warga Kedu.
Sawunggalih, seperti namanya, tetap gagah melaju di rel—mengusung sejarah, harapan, dan masa depan dalam satu perjalanan.
Kesimpulan
KA Sawunggalih tetap menjadi armada legendaris sejak 1977. Upgrade signifikan pada 2018 (new image & premium), peningkatan frekuensi dan kecepatan pada GAPeka 2025, serta okupansi yang tinggi menjadikan layanan ini andalan penghubung Jawa Tengah–Jakarta. Satu rangkaian tetap terdiri dari 7 gerbong, dan ditarik oleh lokomotif diesel-listrik kelas CC.
Sejarah & Awal Operasional
-
Mulai beroperasi sejak 31 Mei 1977, melayani rute Kutoarjo–Jakarta (Pasar Senen)
-
Versi “Sawunggalih Plus” sempat ada, namun dihentikan sekitar 1999 karena krisis ekonomi
-
Pasca 2001, mengoperasikan dua rangkaian:
-
Sawunggalih Utama (eksekutif + bisnis)
-
Kutojaya Bisnis (penuh bisnis), kemudian dilebur
-
-
Tahun 2012, gerbong bisnis dilengkapi AC split
Upgrade Gerbong & Formasi Rangkaian
-
27 Agustus 2018: struktur rangkaian diperbarui:
-
2 gerbong eksekutif ‘new image’ dan 5 gerbong ekonomi premium (stainless steel)
-
-
Kapasitas:
-
Eksekutif: 100 tempat duduk (2×50 kursi)
-
Premium (ekonomi): total 400 tempat duduk
-
-
Total satu rangkaian → 7 gerbong, dengan total kursi ±500.
Rute dan Jadwal
-
Rute: Kutoarjo ↔ Pasar Senen, via Purwokerto & Cirebon
-
Sesuai GAPeka 2025: frekuensi 3 kali PP per hari (dulu 2x)
-
Kecepatan meningkat hingga 120 km/jam, menjadikan KA tercepat di tujuan tersebut
Stasiun Pemberhentian
Rangkaian Sawunggalih dengan kombinasi kelas eksekutif dan ekonomi premium berhenti di stasiun berikut (berdampek berdasarkan arah perjalanan):
-
Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang (ditambahkan sejak 19 Juni 2022), Bekasi kadang, Stasiun Pasar Senen
Lokomotif
-
Awalnya menggunakan lokomotif kelas CC (diesel listrik), seperti CC 201/203
-
Seiring upgrade, kemungkinan masih mengandalkan CC-series (terutama CC 203/206), tapi tidak ada info spesifik bahwa ada perubahan sampai 2025.
Okupansi & Popularitas
-
KA ini “andalan masyarakat Jawa Tengah barat dan selatan” dan memiliki okupansi sangat baik
-
Contoh 2021: rangkaian dua eksekutif + enam ekonomi, kapasitas 406 orang, dengan okupansi dibatasi 70 % karena pandemi
-
Hingga 2025, okupansi tetap tinggi karena frekuensi ditambah jadi 6 perjalanan harian (3 PP) .
Ringkasan Tabel
Aspek | Detail |
---|---|
Mulai operasi | 31 Mei 1977 |
Rangkaian per 2025 | 2 eksekutif + 5 ekonomi premium (stainless steel) → 7 gerbong |
Lokomotif | Diesel-listrik (CC 201/203/206) |
Frekuensi harian | 3 kali pulang‑pergi (total 6 perjalanan) |
Rute | Kutoarjo–Pasar Senen via sejumlah stasiun utama |
Stasiun mampir | Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang, Pasar Senen |
Okupansi | Tinggi — dibatasi 70 % saat pandemi, kini penuh secara rutin |