Friday, June 13, 2025

Kereta Api Sawunggalih: Berawal dari Kereta Bisnis Hingga Jadi Andalan Masyarakat Jawa Tengah

KA Sawunggalih
KA Sawunggalih (Sumber Foto: Group Facebook/kereta api



Di tengah hiruk-pikuk moda transportasi yang makin beragam, ada satu nama yang tetap punya tempat khusus di hati masyarakat Jawa Tengah bagian selatan: Kereta Api Sawunggalih.

Menghubungkan Kutoarjo di Purworejo dengan ibu kota Jakarta, kereta ini bukan cuma soal gerbong dan lokomotif—ia adalah bagian dari kehidupan para perantau, para pekerja, dan keluarga yang merindukan kampung halaman.

Awal Lahirnya Kereta Sawunggalih

Perjalanan panjang Sawunggalih dimulai sejak 31 Mei 1977, saat PT Kereta Api (sekarang PT KAI) meluncurkan layanan kereta kelas bisnis bernama “Sawunggalih”. Nama ini diambil dari tokoh legendaris Ki Ageng Sawunggalih, pendiri kerajaan kecil di wilayah Kedu. Sentuhan sejarah ini menjadikan Sawunggalih bukan sekadar alat angkut, tapi juga simbol identitas dan kebanggaan lokal.

Di masa awalnya, Sawunggalih menyasar kalangan menengah yang ingin perjalanan nyaman namun tetap terjangkau. Saat itu, gerbongnya masih berjenis bisnis, tanpa AC. Tapi seiring waktu, ekspektasi penumpang berubah, dan Sawunggalih pun bertransformasi.

Krisis moneter 1998 sempat membuat operasionalnya terguncang. Inovasi seperti layanan Sawunggalih Plus sempat dicoba, tapi tidak bertahan lama. Namun alih-alih tenggelam, nama Sawunggalih justru bangkit lagi lewat penyatuan dengan layanan Kutojaya Bisnis, menjadi Sawunggalih Utama. Puncaknya terjadi pada tahun 2012, ketika kereta ini mulai dilengkapi AC split di kelas bisnis, menaikkan standar kenyamanan yang baru.

Perubahan Besar

Perubahan paling besar terjadi pada 27 Agustus 2018, saat PT KAI melakukan pembaruan besar-besaran. Wajah Sawunggalih berubah total: hadir dengan 2 gerbong eksekutif model baru berbahan stainless steel, serta 5 gerbong ekonomi premium yang tampil lebih elegan. Ekonomi rasa eksekutif. Penumpang kini bisa menikmati kursi reclining, pendingin ruangan, dan interior modern, sejajar dengan kereta jarak jauh lainnya.

Rutenya tetap setia: Kutoarjo – Jakarta Pasar Senen, melewati jalur sibuk seperti Kroya, Purwokerto, Cirebon, hingga Cikarang. Di balik laju kereta, lokomotif legendaris seperti CC 201 dan CC 203 pernah menjadi penarik setia. Kini, perannya dilanjutkan oleh generasi CC 206 yang lebih tangguh.(*)



Okupansi Tetap Tinggi

Lebih dari sekadar alat transportasi, Sawunggalih adalah jembatan harapan dan penggerak ekonomi. Ia menghubungkan kota dan desa, mempertemukan keluarga yang lama terpisah, dan menghidupkan pasar-pasar kecil di sepanjang lintasan selatan Jawa. Tak heran jika okupansinya selalu tinggi—bahkan saat pandemi menerpa, ia tetap jadi pilihan banyak orang.

Kini, di tahun 2025, Sawunggalih bukan lagi sekadar kereta. Ia adalah saksi bisu perjuangan para perantau, napas kehidupan dari Kutoarjo hingga Jakarta, dan tentu saja, kebanggaan warga Kedu.

Sawunggalih, seperti namanya, tetap gagah melaju di rel—mengusung sejarah, harapan, dan masa depan dalam satu perjalanan.

Kesimpulan

KA Sawunggalih tetap menjadi armada legendaris sejak 1977. Upgrade signifikan pada 2018 (new image & premium), peningkatan frekuensi dan kecepatan pada GAPeka 2025, serta okupansi yang tinggi menjadikan layanan ini andalan penghubung Jawa Tengah–Jakarta. Satu rangkaian tetap terdiri dari 7 gerbong, dan ditarik oleh lokomotif diesel-listrik kelas CC.




Sejarah & Awal Operasional

  • Mulai beroperasi sejak 31 Mei 1977, melayani rute Kutoarjo–Jakarta (Pasar Senen) 

  • Versi “Sawunggalih Plus” sempat ada, namun dihentikan sekitar 1999 karena krisis ekonomi 

  • Pasca 2001, mengoperasikan dua rangkaian:

    • Sawunggalih Utama (eksekutif + bisnis)

    • Kutojaya Bisnis (penuh bisnis), kemudian dilebur 

  • Tahun 2012, gerbong bisnis dilengkapi AC split 



Upgrade Gerbong & Formasi Rangkaian

  • 27 Agustus 2018: struktur rangkaian diperbarui:

    • 2 gerbong eksekutif ‘new image’ dan 5 gerbong ekonomi premium (stainless steel) 

  • Kapasitas:

    • Eksekutif: 100 tempat duduk (2×50 kursi)

    • Premium (ekonomi): total 400 tempat duduk 

  • Total satu rangkaian → 7 gerbong, dengan total kursi ±500.


Rute dan Jadwal

  • Rute: Kutoarjo ↔ Pasar Senen, via Purwokerto & Cirebon 

  • Sesuai GAPeka 2025: frekuensi 3 kali PP per hari (dulu 2x) 

  • Kecepatan meningkat hingga 120 km/jam, menjadikan KA tercepat di tujuan tersebut 


Stasiun Pemberhentian

Rangkaian Sawunggalih dengan kombinasi kelas eksekutif dan ekonomi premium berhenti di stasiun berikut (berdampek berdasarkan arah perjalanan):

  • Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang (ditambahkan sejak 19 Juni 2022), Bekasi kadang, Stasiun Pasar Senen 



Lokomotif

  • Awalnya menggunakan lokomotif kelas CC (diesel listrik), seperti CC 201/203 

  • Seiring upgrade, kemungkinan masih mengandalkan CC-series (terutama CC 203/206), tapi tidak ada info spesifik bahwa ada perubahan sampai 2025.

 
Okupansi & Popularitas

  • KA ini “andalan masyarakat Jawa Tengah barat dan selatan” dan memiliki okupansi sangat baik 

  • Contoh 2021: rangkaian dua eksekutif + enam ekonomi, kapasitas 406 orang, dengan okupansi dibatasi 70 % karena pandemi 

  • Hingga 2025, okupansi tetap tinggi karena frekuensi ditambah jadi 6 perjalanan harian (3 PP) .


Ringkasan Tabel

AspekDetail
Mulai operasi31 Mei 1977
Rangkaian per 20252 eksekutif + 5 ekonomi premium (stainless steel) → 7 gerbong
LokomotifDiesel-listrik (CC 201/203/206)
Frekuensi harian3 kali pulang‑pergi (total 6 perjalanan)
RuteKutoarjo–Pasar Senen via sejumlah stasiun utama
Stasiun mampirKutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang, Pasar Senen
OkupansiTinggi — dibatasi 70 % saat pandemi, kini penuh secara rutin

Sunday, June 1, 2025

Jejak Evolusi Tiket Kereta Api di Indonesia. Dari Era Kolonial Belanda hingga 2025

Tiket kereta api era DNKA hingga tahun 2008
Tiket kereta api era DNKA hingga tahun 2008



Sejak zaman kolonial hingga era digital, tiket kereta api Indonesia telah berevolusi dari karton manual hingga tiket digital berbasis QR & biometrik. 

Setiap fase membawa inovasi yang mempercepat layanan dan meningkatkan keamanan, meski tetap ada tantangan seperti inklusi digital dan sistem downtime.

Berikut adalah sejarah tiket kereta api Indonesia dari zaman kolonial Belanda hingga tahun 2025, mencakup evolusi jenis tiket, teknologi yang digunakan, keunggulan dan kelemahan tiap era, serta timeline implementasi sistem.


1. Era Kolonial Belanda (1864–1942)

Tiket: Kertas Manual (Tiket Karton)

  • Jenis: Tiket karton tebal berukuran kecil.

  • Penerbit: Staatsspoorwegen (SS) dan perusahaan swasta seperti NIS, SCS, ZSS.

  • Proses: Dibeli langsung di stasiun. Tiket disobek atau dicap oleh petugas saat masuk.

  • Teknologi: Manual, tidak ada sistem pencatatan elektronik.

  • Keunggulan: Sederhana dan mudah didistribusikan.

  • Kelemahan: Rentan dipalsukan, tidak ada sistem pelacakan.


2. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)

Tiket: Kertas Manual (dengan Bahasa Jepang)

  • Perubahan: Tiket tetap manual, namun mencantumkan tulisan Jepang dan Indonesia.

  • Teknologi: Masih tradisional. Fokus pada kebutuhan militer Jepang.

  • Kelemahan: Penurunan kualitas layanan, pencatatan dan pengarsipan sangat minim.


3. Awal Kemerdekaan & Orde Lama (1945–1965)

Tiket: Manual – Cap & Tulisan Tangan

  • Pengelola: DKA (Djawatan Kereta Api), kemudian PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api).

  • Tiket: Ditulis tangan, dicap stempel. Beberapa masih menggunakan stok tiket bekas Belanda.

  • Keunggulan: Adaptif dalam kondisi pasca-kemerdekaan.

  • Kelemahan: Tidak efisien, rawan penipuan, tidak tercatat secara sistematis.


4. Masa Orde Baru (1965–1998)

Tiket: Tiket Cetak Mekanis

  • Tahun 1971: PNKA menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api).

  • Tahun 1991: Menjadi PT Kereta Api (Persero).

  • Jenis Tiket: Tiket cetak dengan sistem punch card dan karcis karton.

  • Teknologi: Mesin pencetak tiket semi-mekanis.

  • Keunggulan: Lebih rapi dan mulai terarsip.

  • Kelemahan: Masih perlu antre panjang, tidak fleksibel, rawan calo.


5. Era Digital Awal (1998–2010)

Tiket: Tiket Cetak Komputer

  • Tahun 1999: Mulai uji coba sistem komputerisasi untuk pemesanan.

  • Tahun 2000-an: Tiket sudah berupa print-out dengan barcode.

  • Pembelian: Lewat loket dan agen travel.

  • Keunggulan: Lebih aman, mulai ada data penumpang.

  • Kelemahan: Sistem belum online penuh, butuh cetak fisik.


6. Transformasi Digital (2010–2016)

Tiket: E-ticket (Barcode)

  • 2012: PT KAI luncurkan sistem reservasi online lewat web.

  • 2013: Pembelian tiket bisa lewat minimarket & e-commerce.

  • 2014–2015: Tiket berbentuk e-tiket dengan barcode yang bisa dicetak sendiri (print @ home).

  • Keunggulan:

    • Praktis & fleksibel

    • Data penumpang tercatat

  • Kelemahan:

    • Masih butuh cetak atau tunjukkan PDF di HP


7. Tiket Mobile & Cashless (2016–2020)

Tiket: Mobile Ticketing & QR Code

  • 2016: PT KAI meluncurkan aplikasi KAI Access.

  • 2017: Boarding pass otomatis di stasiun lewat scan e-ticket.

  • Pembayaran: GoPay, LinkAja, kartu debit/kredit.

  • Keunggulan:

    • Tanpa antre

    • Tanpa cetak fisik

    • Real-time update

  • Kelemahan:

    • Bergantung pada HP/internet

    • Sistem error bisa menghambat

Face Recognition Boarding KAI
Face Recognition Boarding KAI (Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)



8. Era Integrasi Digital & KA Cepat (2020–2025)

Tiket: Full Digital & Smart Ticketing

  • 2021: Integrasi KAI Access dengan PeduliLindungi saat pandemi.

  • 2023: Tiket Whoosh (KA Cepat Jakarta–Bandung) hadir dengan sistem paperless dan biometric scan.

  • 2024: Tiket bisa dibeli lewat aplikasi transportasi terintegrasi (MRT, Transjakarta).

  • 2025: Mulai uji coba pembayaran NFC & face recognition di beberapa stasiun besar.

  • Keunggulan:

    • Cepat, aman, tanpa kontak fisik

    • Bisa integrasi multi-moda

  • Kelemahan:

    • Ketergantungan tinggi pada sistem

    • Masalah digital divide (akses teknologi tidak merata)


🗓️ TIMELINE EVOLUSI TIKET KERETA API INDONESIA

TahunInovasi
1864    Tiket karton manual oleh Staatsspoorwegen
1942    Tiket berbahasa Jepang
1950-an    Tiket tulis tangan dengan cap
1970-an        Tiket cetak mekanik
1999    Komputerisasi tiket
2009    Tiket barcode mulai digunakan
2012    Reservasi online
2016    Aplikasi KAI Access
2019    Full digital boarding pass
2023    Tiket KA Cepat Whoosh: Paperless & biometric
2025    Uji coba face recognition & NFC

Thursday, May 22, 2025

Stasiun Tebing Tinggi Sumatera Utara dan Turntable Bersejarah

Turntable di Stasiun Tebing Tinggi merupakan bukti kemajuan teknologi era kolonial Belanda
Turntable di Stasiun Tebing Tinggi merupakan bukti kemajuan teknologi era kolonial Belanda. Uniknya, turntable ini dioperasikan secara manual dengan cara diengkol.





Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir
Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir 




Garasi lokomotif (Roundhouse) di sudut Stasiun Tebing Tinggi. Bangunan dan teknologinya sangat bernilai sejarah 


Stasiun Tebing Tinggi dibangun pada awal abad ke-20, stasiun ini tak sekadar menjadi titik keberangkatan dan kedatangan, tapi juga saksi bisu sejarah transportasi rel di Sumatera Utara.

Stasiun Tebing Tinggi (kode: TBI) merupakan stasiun kereta api kelas I yang terletak di Kelurahan Satria, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Stasiun ini berada pada ketinggian +21,50 meter dan termasuk dalam Divisi Regional I Sumatera Utara dan Aceh.


Awal Berdiri: Jejak Kolonial di Atas Rel

Stasiun ini mulai beroperasi pada 6 Agustus 1915, tak lama setelah jalur rel dari Perbaungan ke Tebing Tinggi diresmikan pada 3 Maret 1903 oleh perusahaan kereta api kolonial Belanda, Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)

Stasiun Tebing Tinggi berdiri untuk mendukung mobilitas hasil perkebunan tembakau dan sawit. Membuat stasiun ini langsung menjadi simpul penting dalam jaringan logistik Hindia Belanda.

Bangunannya mengadopsi gaya kolonial klasik: dinding tebal berwarna putih, atap tinggi berjendela besar, dan aula tunggu yang terasa megah di zamannya. 

Di sekeliling stasiun, berdiri rumah-rumah mewah untuk pejabat Belanda dan barak-barak pekerja yang kini menyatu dalam lanskap kota.

Perkembangan dan Modernisasi

Seiring waktu, Stasiun Tebing Tinggi mengalami berbagai transformasi. Dari sistem lokomotif uap yang gemuruh di era awal, berganti ke lokomotif diesel yang efisien. Jalur-jalur lama diperbaiki, dan fasilitas stasiun ditingkatkan untuk mengakomodasi penumpang modern.

Meski begitu, nuansa historis tetap dipertahankan—mengukuhkan identitas stasiun sebagai warisan budaya kota.

Kini, stasiun ini memiliki 6 jalur aktif, menghubungkan Tebing Tinggi dengan berbagai kota besar di Sumatera Utara dan sekitarnya. Dari Medan yang sibuk hingga Tanjungbalai, Rantau Prapat, dan Pematang Siantar. 

Kereta-Kereta yang Singgah

Beberapa kereta api penting yang transit atau berangkat dari Stasiun Tebing Tinggi meliputi:

  • KA Sribilah Utama – menghubungkan Medan dan Rantau Prapat, dengan kenyamanan kelas bisnis dan eksekutif.

  • KA Putri Deli – layanan andalan Medan–Tanjungbalai, lewat jalur datar khas pesisir timur.

  • KA Siantar Ekspres – membawa penumpang dari Medan ke kota berhawa sejuk, Pematang Siantar.

  • KA Datuk Belambangan – kereta lokal yang menyambungkan Tebing Tinggi ke Stasiun Lalang dan sekitarnya.


📜 Timeline Perkembangan Stasiun Tebing Tinggi

  • 3 Maret 1903: Jalur kereta api dari Perbaungan ke Tebing Tinggi dibuka oleh Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), memperluas jaringan kereta api di Sumatera Utara. 

  • 6 Agustus 1915: Stasiun Tebing Tinggi resmi dibuka untuk umum, menjadi titik penting dalam jaringan transportasi kereta api di wilayah tersebut. 

  • Era Kolonial Belanda: Stasiun ini dilengkapi dengan kompleks perumahan pegawai yang luas, termasuk asrama dan rumah mewah untuk pejabat Belanda. 

  • Modernisasi: Stasiun ini mengalami berbagai renovasi dan peningkatan fasilitas untuk meningkatkan kenyamanan penumpang, sambil mempertahankan nilai historis bangunan.


🚆 Layanan Kereta Api di Stasiun Tebing Tinggi

Stasiun Tebing Tinggi melayani berbagai rute kereta api, baik jarak jauh maupun komuter. Beberapa layanan utama meliputi:

Kereta Api Jarak Jauh

  • Sribilah Utama: Menghubungkan Medan dengan Rantau Prapat, dengan pemberhentian di Tebing Tinggi. 

  • Putri Deli: Melayani rute Medan–Tanjungbalai, dengan pemberhentian di Tebing Tinggi. 

Kereta Api Komuter

  • Siantar Ekspres: Menghubungkan Medan dengan Pematang Siantar, melalui Tebing Tinggi. 

  • Datuk Belambangan: Melayani rute Tebing Tinggi–Lalang (PP)


🏗️ Fasilitas dan Infrastruktur

Stasiun Tebing Tinggi memiliki enam jalur kereta api

  • Jalur 1: Sepur lurus dari dan ke arah Medan

  • Jalur 2: Sepur lurus dari dan ke arah Siantar

  • Jalur 3: Sepur lurus dari dan ke arah Kisaran

Stasiun ini juga dilengkapi dengan fasilitas seperti parkir, ruang tunggu, toilet, musala, dan area merokok.


Turntable atau Meja Pemutar Lokomotif, Benda Bersejarah Stasiun Tebing Tinggi

Di sudut Stasiun Tebing Tinggi, Sumatera Utara, terdapat sebuah peninggalan bersejarah yang menjadi saksi kejayaan perkeretaapian masa lalu: meja pemutar lokomotif atau turntable. 

Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir atau juga untuk menyimpan lokomotif ke garasi lokomotif (Roundhouse) di dekatnya.

Uniknya, turntable ini dioperasikan secara manual dengan cara diengkol, berbeda dengan sistem otomatis yang umum digunakan di tempat lain. Turntable ini terhubung dengan roundhouse atau los bundar yang memiliki delapan pintu, tempat penyimpanan dan perawatan lokomotif.

Kehadiran fasilitas ini menunjukkan bahwa Stasiun Tebing Tinggi pernah menjadi pusat operasional penting bagi Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), perusahaan kereta api swasta Belanda yang beroperasi di Sumatera Utara pada masa kolonial.
 

Dikutip dari Harian Kompas, menurut Ibnu Murti Hariyadi dari Unit Pusat Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia, meja pemutar di Stasiun Tebing Tinggi merupakan satu-satunya yang tersisa di Indonesia dengan desain seperti itu.

Fasilitas ini tidak hanya berfungsi untuk membalik arah lokomotif tetapi juga mengarahkan lokomotif ke delapan jalur rel pendek menuju rumah parkir di dekatnya.
Desain ini mencerminkan pengaruh teknologi perkeretaapian Eropa, seperti yang ditemukan di Inggris, Jerman, Austria, dan Swiss. 

Keberadaan turntable dan roundhouse di Stasiun Tebing Tinggi tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi pada masanya tetapi juga menjadi simbol penting dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.

Fasilitas ini menunjukkan bagaimana infrastruktur perkeretaapian di Sumatera Utara pernah mencapai tingkat kemajuan yang setara dengan standar internasional.


Sebagai bagian dari warisan industri, turntable dan roundhouse ini layak untuk dilestarikan dan dijadikan sebagai situs edukasi serta wisata sejarah bagi generasi mendatang.

Monday, July 15, 2019

Jejak Sejarah Kereta Api Indonesia

(Foto:tribunnews.com)


+++++++
2019

14 Juli 2019
PT Kereta Commuter Indonesia merilis rencana menghapus aktivitas jual-beli Tiket Harian Berjaminan (THB) Kereta Rel Listrik (KRL) di lima stasiun: Stasiun Sudirman, Palmerah, Taman Kota, Cikini dan Universitas Indonesia. Kebijakan ini akan diterapkan mulai 1 Agustus 2019 baik di loket maupun vending machine.

PT KCI berpendapat, THB di lima stasiun tersebut dihapus karena 90 persen seluruh penumpang telah menggunakan kartu elektronik, baik uang elektronik (e-money) yang diterbitkan bank maupun Kartu Multitrip (KMT).

Menurut Anne Purba , Vice President Corporate Communication PT KCI jika diterapkan, kebijakan ini dapat mengurangi antrean pembelian tiket. (jalurbesi)

Thursday, November 1, 2018

Stasiun Jakarta Kota, Saksi Perubahan Ibu Kota

penumpang memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota
Calon penumpang antre dan "ngetap" tiket untuk memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota.



Di tengah hiruk-pikuk Kota Tua Jakarta yang sesak akan jejak masa lalu dan derap langkah masa kini, berdirilah sebuah bangunan megah nan tenang: Stasiun Jakarta Kota. Sebagian orang masih menyebutnya dengan nama lamanya—Stasiun Beos—sebuah nama yang mengandung kenangan, sejarah, dan perjalanan panjang bangsa ini.

Lahir dari Era Kolonial

Semua bermula hampir seabad lalu. Tahun 1926, di masa Hindia Belanda masih bercokol di Nusantara, dimulailah pembangunan sebuah stasiun modern di jantung Batavia. Arsiteknya bukan orang sembarangan: Frans Ghijsels, maestro arsitektur Belanda yang mengusung gaya Art Deco dengan sentuhan lokal.

Tiga tahun kemudian, tepat pada 8 Oktober 1929, stasiun itu diresmikan. Namanya kala itu adalah Station Batavia Benedenstad. Tapi masyarakat lebih senang menyebutnya Beos, singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api swasta yang pernah beroperasi di timur Batavia.

Dari sinilah, ribuan langkah dimulai. Ribuan cerita dilepas dan ditunggu kembali.

Saksi Bisu Perubahan Zaman

Stasiun ini bukan sekadar tempat naik turun penumpang. Ia adalah saksi diam berbagai babak sejarah negeri ini. Di era pendudukan Jepang, Beos menjadi titik strategis logistik militer. Di masa kemerdekaan, ia menjadi simpul pergerakan para pejuang dan rakyat yang baru mencicipi kata “merdeka”.

Pada tahun-tahun setelahnya, Beos berubah perlahan. Namanya resmi menjadi Stasiun Jakarta Kota. Tapi di hati warga Jakarta dan para penumpangnya, “Beos” tetap hidup—sebagai nama, sebagai kenangan.

Rel dan Arus Manusia yang Tak Pernah Diam

Masuk tahun 1970-an, wajah stasiun mulai bersolek. Layanan kereta diperluas, sistem ditata ulang, tapi bangunan tua itu tetap berdiri anggun di antara bangunan-bangunan yang datang dan pergi.

Di dekade 1990-an hingga 2000-an, Stasiun Jakarta Kota mulai melayani KRL Commuter Line—kereta listrik yang menghubungkan pinggiran kota dengan pusat ibu kota. Setiap pagi dan sore, lautan manusia mengalir masuk dan keluar. Entah untuk bekerja, bersekolah, berdagang, atau sekadar menumpang waktu.

Kereta dari Bogor, Bekasi, Cikarang, dan Depok semua bertemu ujungnya di sini. Di stasiun tua yang masih menyimpan mosaik lantai era kolonial, jendela-jendela tinggi, dan langit-langit lengkung yang menyimpan gema dari masa lalu.

Menjadi Cagar Budaya, Menjadi Warisan

Tahun demi tahun berlalu, hingga pada akhirnya stasiun ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya nasional. Tak boleh diubah sembarangan. Ia bukan hanya milik PT KAI. Ia milik publik. Ia milik sejarah.

Di masa digital seperti sekarang, 2025, Stasiun Jakarta Kota sudah jauh lebih canggih. Ada display digital, e-ticketing, koneksi aplikasi KAI Access, dan sistem informasi modern. Tapi semua itu dipasang tanpa menghapus karakternya. Heritage-nya tetap dijaga. Sebuah kompromi indah antara masa lalu dan masa depan.

Lebih dari Sekadar Tempat Berangkat dan Pulang

Bagi banyak orang, Stasiun Jakarta Kota adalah tempat kenangan bermula. Tempat pertemuan, perpisahan, atau sekadar titik transit menuju destinasi berikutnya.

Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah destinasi itu sendiri.

Di sekitarnya, Kota Tua merentangkan sejarah. Ada Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, kafe tua, jalanan berbatu, dan pesepeda ontel yang menyambut wisatawan. Semua itu dimulai dari langkah pertama keluar dari stasiun ini.



Berikut adalah sejarah lengkap Stasiun Jakarta Kota, dari masa kolonial hingga perkembangan terkini tahun 2025:


🏛️ Sejarah Stasiun Jakarta Kota (Stasiun Beos)

🔹 Awal Mula Pembangunan

  • Tahun pembangunan: Dimulai pada 1926, selesai pada 1929

  • Arsitek: Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Belanda terkenal, pendiri AIA (Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau)

  • Gaya arsitektur: Art Deco dengan sentuhan Nieuwe Zakelijkheid (Fungsionalisme Belanda) dan elemen lokal

  • Peresmian: 8 Oktober 1929 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.C.D. de Graeff

  • Nama awal: Station Batavia Benedenstad, dikenal juga sebagai Beos (singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij)

🔹 Fungsi dan Posisi Strategis

  • Merupakan terminal utama kereta api untuk daerah Jakarta Kota dan sekitarnya sejak zaman kolonial

  • Menggantikan fungsi stasiun lama di daerah Batavia yang dibangun oleh perusahaan kereta swasta zaman Belanda

  • Stasiun ini dibangun di pusat Kota Tua, dekat pelabuhan Sunda Kelapa, menjadi simpul utama aktivitas ekonomi dan mobilitas


📜 Perkembangan & Evolusi Hingga 2025

🔸 1930–1945: Era Kolonial Akhir dan Pendudukan Jepang

  • Menjadi simpul penting angkutan barang dan militer

  • Digunakan pula oleh Jepang untuk kepentingan logistik selama Perang Dunia II

🔸 1945–1960: Masa Kemerdekaan dan Nasionalisasi

  • Setelah kemerdekaan, stasiun ini dinasionalisasi dari tangan Belanda

  • Digunakan untuk kepentingan pemerintahan RI dan pengangkutan massa pejuang serta pengungsi

🔸 1970–1990: Revitalisasi Awal dan Perluasan Layanan

  • Perubahan sistem operasional dan peremajaan sarana KA lokal

  • Bertahap menjadi stasiun terminus untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter

🔸 1990–2010: Era Modernisasi

  • Stasiun mulai dipugar namun tetap mempertahankan bentuk asli bangunan kolonialnya

  • Ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah karena nilai historis dan arsitekturalnya

  • Menjadi hub utama untuk KRL Commuter Line Jabodetabek

🔸 2010–2020: Elektrifikasi dan Integrasi Transportasi

  • Menjadi pusat operasional KRL lintas Bogor, Bekasi, dan Serpong

  • Terintegrasi dengan TransJakarta (koridor 1 dan 12), angkot, dan moda lain di kawasan Kota Tua

  • Peron diperpanjang dan ditata ulang untuk mendukung KRL modern

🔸 2020–2025: Transformasi Digital dan Pelestarian Heritage

  • Mulai diberlakukan sistem e-ticketing full digital via KAI Access dan aplikasi KRL Access

  • Proyek revitalisasi bangunan utama (tanpa mengubah fasad heritage) untuk peningkatan kenyamanan

  • Penggunaan PIDS (Passenger Information Display System) modern

  • Penambahan area komersial dan UMKM lokal di sekitar stasiun, mendukung ekowisata Kota Tua

  • Menjadi salah satu ikon wisata sejarah transportasi di Jakarta


🚉 Kereta yang Beroperasi di Stasiun Jakarta Kota (per 2025)

KRL Commuter Line (Start/Finish):

Stasiun Jakarta Kota adalah terminus (stasiun awal/akhir) dari beberapa rute utama KRL:

  1. KRL Commuter Line Bogor (rute: Bogor – Jakarta Kota)

  2. KRL Commuter Line Bekasi via Manggarai (rute: Bekasi – Jakarta Kota)

  3. KRL Commuter Line Cikarang (berhenti di Jakarta Kota lewat Manggarai)

  4. KRL Loop Line (sebelum rute ini dialihkan sebagian karena proyek DDT Manggarai)

KA Lokal dan Jarak Menengah (Historis & Musiman):

  • KA Walahar Ekspres (rute Purwakarta–Jakarta Kota) – sempat beroperasi dari stasiun ini

  • KA Jatiluhur (rute Cikampek–Jakarta Kota) – beberapa kali dialihkan ke stasiun lain

  • KA Feeder lokal atau KA wisata musiman (terutama saat liburan atau acara budaya Kota Tua)


🏙️ Fakta Menarik Stasiun Jakarta Kota

  • Salah satu stasiun tertua di Indonesia yang masih aktif digunakan

  • Dikenal dengan sebutan Stasiun Beos, singkatan dari perusahaan kereta zaman Belanda

  • Memiliki 12 jalur aktif, 5 peron panjang

  • Bangunannya tetap terawat sebagai ikon heritage transportasi nasional


Tuesday, October 30, 2018

Stasiun Besar Medan

Suasana Stasiun Besar Medan pada medio November 2011. Skybridge untuk kereta bandara belum dibangun, jadi view di area ini masih tampak sangat luas.

Sunday, October 21, 2018

KRD Sri Lelawangsa, Kereta Komuter Divre I Sumatera Utara

KRD Sri Lelawangsa
Suasana kereta Sri Lelawangsa pada Januari 2012. Kala itu kereta ini melayani rute Medan - Tebing Tinggi.



Kereta Rel Diesel (KRD) Sri Lelawangsa merupakan salah satu layanan kereta api penumpang yang dioperasikan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) melalui anak perusahaannya, KAI Divre I Sumatera Utara. 

Kereta ini menjadi tulang punggung transportasi massal bagi masyarakat di kawasan Medan dan sekitarnya. Nama Sri Lelawangsa diambil dari legenda masyarakat Sumatera Utara, menambah nuansa lokal pada layanan kereta ini.

Berikut adalah perjalanan sejarah dan perkembangan KRD Sri Lelawangsa dari awal hingga sekarang:



KRD Sri Lelawangsa
KRD Sri Lelawangsa saat di Stasiun Tebing Tinggi, Januari 2012

Awal Beroperasi

KRD Sri Lelawangsa resmi mulai beroperasi pada 6 Maret 2010. Pada awal peluncurannya, kereta ini dirancang untuk menghubungkan Medan dengan beberapa kota satelit di Provinsi Sumatera Utara, dengan tujuan mendukung mobilitas masyarakat pekerja dan pelajar.

Rute Awal
Pada fase awal, Sri Lelawangsa melayani tiga rute utama:

  • Medan – Binjai
  • Medan – Belawan
  • Medan – Tebing Tinggi

Namun, seiring perkembangan dan evaluasi layanan, rute mengalami perubahan.

  • Rute Medan–Belawan dihentikan sekitar tahun 2019 karena sepinya penumpang.
  • Rute Medan–Tebing Tinggi juga berhenti beroperasi pada tahun yang sama.
  • Saat ini, rute utama yang aktif adalah Medan–Binjai, yang merupakan rute paling padat dan strategis bagi masyarakat suburban Medan.


KRD Sri Lelawangsa

Jenis Kereta dan Kapasitas

KRD Sri Lelawangsa awalnya menggunakan rangkaian Kereta Rel Diesel Non Elektrik (KRDE) buatan PT Industri Kereta Api (INKA). Rangkaian yang digunakan berbentuk seperti KRD lokal, dengan model kereta buatan dalam negeri.

  • Jumlah gerbong: Umumnya terdiri dari 3 hingga 4 kereta penumpang dalam satu rangkaian.
  • Sistem penggerak: Diesel hidrolik.
  • Kelas layanan: KRD Sri Lelawangsa hanya menyediakan kelas ekonomi dengan konfigurasi tempat duduk memanjang (long seat), kapasitas sekitar 300-an penumpang per rangkaian.

Pada perkembangannya, sejak 2020-an, layanan Sri Lelawangsa mulai menggunakan lokomotif Tarik (KA Lokal) dengan kereta kelas Ekonomi New Generation buatan INKA, menggantikan sebagian armada KRD lama yang sudah menua.


Fasilitas

  • Sebagai layanan kereta lokal, fasilitasnya sederhana namun memadai:
  • Tempat duduk berhadap-hadapan (long seat)
  • AC (pada armada kereta baru/New Generation)
  • Toilet
  • Pengamanan oleh petugas KAI dan Polsuska
  • Tarif subsidi dari pemerintah (PSO/ Public Service Obligation)



Meski sempat mengalami insiden tabrakan dan vandalisme beberapa kali, Sri Lelawangsa tetap menjadi pilihan utama transportasi murah dan efisien bagi masyarakat Medan-Binjai. Salah satu tantangan utama layanan ini adalah persaingan dengan angkutan darat lain serta perlunya peremajaan armada secara berkelanjutan.


KRD Sri Lelawangsa menjadi simbol komitmen PT KAI Divre I Sumatera Utara dalam menyediakan transportasi publik yang terjangkau bagi masyarakat urban di Sumatera Utara. Dengan rute Medan–Binjai yang tetap eksis hingga kini, kereta ini berperan penting mengatasi kemacetan dan mendukung aktivitas perekonomian setempat.





Timeline Perkembangan KRD Sri Lelawangsa


Tahun Peristiwa
6 Maret 2010         KRD Sri Lelawangsa resmi beroperasi.
2010–2019         Melayani rute Medan–Binjai, Medan–Belawan, Medan–Tebing Tinggi.
2019         Penghentian rute Medan–Belawan dan Medan–Tebing Tinggi. Tinggal rute                        Medan–Binjai.
2020         Mulai dilakukan penggantian armada dengan kereta ekonomi baru INKA,                            menggunakan sistem lokomotif tarik.
2024–2025         Masih beroperasi melayani rute Medan–Binjai, menjadi andalan masyarakat untuk                 transportasi harian.