Showing posts with label Kereta. Show all posts
Showing posts with label Kereta. Show all posts

Wednesday, June 18, 2025

Kereta Taksaka, Legenda Naga Besi yang Setia Melayani Jalur Yogya-Jakarta

 

Kereta Taksaka New Generation
Kereta Taksaka New Generation (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia)

YOGYAKARTA – Di antara hiruk-pikuk stasiun Tugu setiap pagi, ada satu kereta yang selalu dinantikan dengan nuansa lebih elegan: KA Taksaka. Bagi sebagian orang, ini hanyalah kereta eksekutif dari Yogyakarta ke Jakarta. Namun bagi mereka yang setia mengarunginya sejak 1990-an, Taksaka adalah simbol peradaban: kenyamanan, kecepatan, dan prestise dalam satu rangkaian baja.

Kereta ini bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah narasi panjang tentang bagaimana PT Kereta Api Indonesia (KAI) menempatkan Yogyakarta sebagai kota dengan identitas perkeretaapian tersendiri—bukan sekadar penumpang dari skema nasional.


Sejarah KA Taksaka: Dari Mitos ke Realitas

Diluncurkan secara resmi pada 17 Mei 1994, Taksaka hadir menjawab kebutuhan kereta cepat, nyaman, dan penuh prestise di rute selatan Jawa. Namanya diambil dari Taksaka, naga penjaga dalam mitologi Jawa-Hindu. Sebuah simbol yang tidak main-main—ia kuat, berwibawa, dan punya akar budaya.


Nah, tau nggak?! Kenapa Taksaka yang masuk kasta kereta full eksekutif tidak memakai penamaan dengan diksi ARGO?. Alih-alih mengikuti arus nama “Argo” yang sedang dikampanyekan KAI kala itu, manajemen justru memilih tetap menamakan kereta ini dengan TAKSAKA. 

Ternyata, itu untuk memberi identitas kultural yang lebih kuat kepada Yogyakarta. Ya, Taksaka itu bukan hanya nama. Ia karakter.


Rute dan Stasiun Pemberhentian Taksaka

Hingga tahun 2025, KA Taksaka melayani rute Yogyakarta – Jakarta (Stasiun Gambir) sejauh kurang lebih 517 kilometer. Waktu tempuhnya rata-rata 6–8 jam, tergantung jadwal dan kondisi lintas.


Stasiun pemberhentian (tergantung jadwal):

  • Yogyakarta
  • Kutoarjo
  • Purwokerto
  • Cirebon
  • Jatinegara
  • Gambir


Taksaka hingga 2025 memiliki dua varian layanan:

  • Taksaka Pagi: berangkat pagi dari Yogyakarta, tiba siang di Jakarta.
  • Taksaka Malam: berangkat malam, tiba pagi.

Keduanya dirancang untuk menyesuaikan kebutuhan penumpang bisnis dan wisata.


Formasi Rangkaian dan Fasilitas Onboard

Aku mencoba riset kecil-kecil. Hasilnya, KA Taksaka dikenal dengan formasi eksekutif full sejak awal. Per 2025, seluruh gerbong telah menggunakan rangkaian stainless steel generasi terbaru, seperti yang juga digunakan pada Argo Lawu dan Argo Bromo Anggrek.


Formasi Standar Taksaka:

  • 1 Lokomotif (CC206)
  • 1 Kereta Pembangkit (KMP)
  • 1 Kereta Makan & Pembangkit (MP)
  • 6–8 Kereta Eksekutif
  • 1 Kereta Bagasi (kadang disisipkan)


Fasilitasnya mencakup:

  • Reclining seat berbalut kulit sintetis
  • Audio-video entertainment system
  • USB charger di setiap kursi
  • Pendingin udara sentral
  • Toilet ramah disabilitas


Lokomotif yang Pernah Menghela Taksaka

Periode         Lokomotif                 Catatan

1994–2000     BB304, BB301         Digunakan pada masa awal, cepat diganti
                                                                karena kurang bertenaga

2000–2020     CC201, CC203         Lokomotif andalan KAI era reformasi

2020–2025     CC206                         Lokomotif diesel elektrik modern, senyap dan efisien


Taksaka dan Pertarungan Okupansi

Dari riset yang memang tidak ilmiah. Hehehe. Di antara puluhan kereta lintas selatan, Taksaka konsisten masuk 5 besar dalam hal okupansi tertinggi. Pada masa emas (1995–2019), kursi Taksaka selalu penuh di akhir pekan dan musim mudik. Bahkan di luar hari libur, angka keterisian kursi menyentuh 70–85%.

Badai pandemi COVID-19 sempat membuat okupansi anjlok hingga 20%. Layanan sempat dihentikan sementara, sebelum kembali stabil sejak 2023. Peran digitalisasi seperti KAI Access, promosi bundling hotel, dan koneksi antarmoda di stasiun-stasiun penyangga menjadi penyelamat.


Timeline Evolusi KA Taksaka

Tahun                 Peristiwa Penting

1994                 Diluncurkan sebagai kereta eksekutif Yogya–Jakarta

1997                 Layanan ditambah menjadi 2x sehari: Pagi dan Malam

2008                 Renovasi interior kursi, peningkatan AC dan sistem pengereman

2014                 Mulai menggunakan lokomotif CC206

2020                 Layanan berhenti sementara akibat pandemi

2022                 Rangkaian stainless steel generasi baru diperkenalkan

2023                 Okupansi kembali normal, integrasi digital diperkuat

2024                 Sistem hiburan digital onboard diluncurkan

2025                 Konektivitas feeder ke Bandara YIA diuji coba


Mengapa Taksaka Bukan “Argo”?

Seperti di paragraf awal tulisan ini. Mengapa Taksaka tidak memakai diksi ARGO di penamaannya. Pertanyaan ini kerap muncul, mengingat Taksaka menawarkan layanan sekelas Argo namun namanya tidak tersemat kata ARGO. Jawabannya terletak pada strategi branding dan kekuatan identitas lokal.


Berbeda dengan Argo Lawu atau Argo Dwipangga yang lahir di bawah kebijakan "Argo-isasi" kereta eksekutif pada 1995, Taksaka lahir lebih dulu dan telah melekat kuat dengan Yogyakarta.


PT KAI memilih untuk mempertahankan nama ini karena:

  • Sudah punya brand awareness tinggi
  • Mengandung makna budaya lokal
  • Tidak kalah premium dengan Argo dari sisi layanan


Bahkan di kalangan railfans, Taksaka disebut sebagai “Argo-nya Jogja yang menolak jadi Argo”.

Menuruku KA Taksaka merupakan contoh bagaimana kereta api bisa menjadi simbol budaya, bukan sekadar moda transportasi. Dari pengalaman menggunakan jasanya, di setiap rodanya yang berputar di lintas selatan, ia membawa cerita-cerita pagi yang penuh harapan dan malam yang penuh perenungan.
Lebih dari 30 tahun sejak peluncurannya, 

JalurBesi menilai, Taksaka tetap relevan—bukan karena kecepatan semata, tetapi karena kemampuannya menyatu dengan kehidupan para penumpangnya.

Friday, June 13, 2025

Kereta Api Sawunggalih: Berawal dari Kereta Bisnis Hingga Jadi Andalan Masyarakat Jawa Tengah

KA Sawunggalih
KA Sawunggalih (Sumber Foto: Group Facebook/kereta api



Di tengah hiruk-pikuk moda transportasi yang makin beragam, ada satu nama yang tetap punya tempat khusus di hati masyarakat Jawa Tengah bagian selatan: Kereta Api Sawunggalih.

Menghubungkan Kutoarjo di Purworejo dengan ibu kota Jakarta, kereta ini bukan cuma soal gerbong dan lokomotif—ia adalah bagian dari kehidupan para perantau, para pekerja, dan keluarga yang merindukan kampung halaman.

Awal Lahirnya Kereta Sawunggalih

Perjalanan panjang Sawunggalih dimulai sejak 31 Mei 1977, saat PT Kereta Api (sekarang PT KAI) meluncurkan layanan kereta kelas bisnis bernama “Sawunggalih”. Nama ini diambil dari tokoh legendaris Ki Ageng Sawunggalih, pendiri kerajaan kecil di wilayah Kedu. Sentuhan sejarah ini menjadikan Sawunggalih bukan sekadar alat angkut, tapi juga simbol identitas dan kebanggaan lokal.

Di masa awalnya, Sawunggalih menyasar kalangan menengah yang ingin perjalanan nyaman namun tetap terjangkau. Saat itu, gerbongnya masih berjenis bisnis, tanpa AC. Tapi seiring waktu, ekspektasi penumpang berubah, dan Sawunggalih pun bertransformasi.

Krisis moneter 1998 sempat membuat operasionalnya terguncang. Inovasi seperti layanan Sawunggalih Plus sempat dicoba, tapi tidak bertahan lama. Namun alih-alih tenggelam, nama Sawunggalih justru bangkit lagi lewat penyatuan dengan layanan Kutojaya Bisnis, menjadi Sawunggalih Utama. Puncaknya terjadi pada tahun 2012, ketika kereta ini mulai dilengkapi AC split di kelas bisnis, menaikkan standar kenyamanan yang baru.

Perubahan Besar

Perubahan paling besar terjadi pada 27 Agustus 2018, saat PT KAI melakukan pembaruan besar-besaran. Wajah Sawunggalih berubah total: hadir dengan 2 gerbong eksekutif model baru berbahan stainless steel, serta 5 gerbong ekonomi premium yang tampil lebih elegan. Ekonomi rasa eksekutif. Penumpang kini bisa menikmati kursi reclining, pendingin ruangan, dan interior modern, sejajar dengan kereta jarak jauh lainnya.

Rutenya tetap setia: Kutoarjo – Jakarta Pasar Senen, melewati jalur sibuk seperti Kroya, Purwokerto, Cirebon, hingga Cikarang. Di balik laju kereta, lokomotif legendaris seperti CC 201 dan CC 203 pernah menjadi penarik setia. Kini, perannya dilanjutkan oleh generasi CC 206 yang lebih tangguh.(*)



Okupansi Tetap Tinggi

Lebih dari sekadar alat transportasi, Sawunggalih adalah jembatan harapan dan penggerak ekonomi. Ia menghubungkan kota dan desa, mempertemukan keluarga yang lama terpisah, dan menghidupkan pasar-pasar kecil di sepanjang lintasan selatan Jawa. Tak heran jika okupansinya selalu tinggi—bahkan saat pandemi menerpa, ia tetap jadi pilihan banyak orang.

Kini, di tahun 2025, Sawunggalih bukan lagi sekadar kereta. Ia adalah saksi bisu perjuangan para perantau, napas kehidupan dari Kutoarjo hingga Jakarta, dan tentu saja, kebanggaan warga Kedu.

Sawunggalih, seperti namanya, tetap gagah melaju di rel—mengusung sejarah, harapan, dan masa depan dalam satu perjalanan.

Kesimpulan

KA Sawunggalih tetap menjadi armada legendaris sejak 1977. Upgrade signifikan pada 2018 (new image & premium), peningkatan frekuensi dan kecepatan pada GAPeka 2025, serta okupansi yang tinggi menjadikan layanan ini andalan penghubung Jawa Tengah–Jakarta. Satu rangkaian tetap terdiri dari 7 gerbong, dan ditarik oleh lokomotif diesel-listrik kelas CC.




Sejarah & Awal Operasional

  • Mulai beroperasi sejak 31 Mei 1977, melayani rute Kutoarjo–Jakarta (Pasar Senen) 

  • Versi “Sawunggalih Plus” sempat ada, namun dihentikan sekitar 1999 karena krisis ekonomi 

  • Pasca 2001, mengoperasikan dua rangkaian:

    • Sawunggalih Utama (eksekutif + bisnis)

    • Kutojaya Bisnis (penuh bisnis), kemudian dilebur 

  • Tahun 2012, gerbong bisnis dilengkapi AC split 



Upgrade Gerbong & Formasi Rangkaian

  • 27 Agustus 2018: struktur rangkaian diperbarui:

    • 2 gerbong eksekutif ‘new image’ dan 5 gerbong ekonomi premium (stainless steel) 

  • Kapasitas:

    • Eksekutif: 100 tempat duduk (2×50 kursi)

    • Premium (ekonomi): total 400 tempat duduk 

  • Total satu rangkaian → 7 gerbong, dengan total kursi ±500.


Rute dan Jadwal

  • Rute: Kutoarjo ↔ Pasar Senen, via Purwokerto & Cirebon 

  • Sesuai GAPeka 2025: frekuensi 3 kali PP per hari (dulu 2x) 

  • Kecepatan meningkat hingga 120 km/jam, menjadikan KA tercepat di tujuan tersebut 


Stasiun Pemberhentian

Rangkaian Sawunggalih dengan kombinasi kelas eksekutif dan ekonomi premium berhenti di stasiun berikut (berdampek berdasarkan arah perjalanan):

  • Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang (ditambahkan sejak 19 Juni 2022), Bekasi kadang, Stasiun Pasar Senen 



Lokomotif

  • Awalnya menggunakan lokomotif kelas CC (diesel listrik), seperti CC 201/203 

  • Seiring upgrade, kemungkinan masih mengandalkan CC-series (terutama CC 203/206), tapi tidak ada info spesifik bahwa ada perubahan sampai 2025.

 
Okupansi & Popularitas

  • KA ini “andalan masyarakat Jawa Tengah barat dan selatan” dan memiliki okupansi sangat baik 

  • Contoh 2021: rangkaian dua eksekutif + enam ekonomi, kapasitas 406 orang, dengan okupansi dibatasi 70 % karena pandemi 

  • Hingga 2025, okupansi tetap tinggi karena frekuensi ditambah jadi 6 perjalanan harian (3 PP) .


Ringkasan Tabel

AspekDetail
Mulai operasi31 Mei 1977
Rangkaian per 20252 eksekutif + 5 ekonomi premium (stainless steel) → 7 gerbong
LokomotifDiesel-listrik (CC 201/203/206)
Frekuensi harian3 kali pulang‑pergi (total 6 perjalanan)
RuteKutoarjo–Pasar Senen via sejumlah stasiun utama
Stasiun mampirKutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang, Pasar Senen
OkupansiTinggi — dibatasi 70 % saat pandemi, kini penuh secara rutin

Sunday, October 21, 2018

KRD Sri Lelawangsa, Kereta Komuter Divre I Sumatera Utara

KRD Sri Lelawangsa
Suasana kereta Sri Lelawangsa pada Januari 2012. Kala itu kereta ini melayani rute Medan - Tebing Tinggi.



Kereta Rel Diesel (KRD) Sri Lelawangsa merupakan salah satu layanan kereta api penumpang yang dioperasikan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) melalui anak perusahaannya, KAI Divre I Sumatera Utara. 

Kereta ini menjadi tulang punggung transportasi massal bagi masyarakat di kawasan Medan dan sekitarnya. Nama Sri Lelawangsa diambil dari legenda masyarakat Sumatera Utara, menambah nuansa lokal pada layanan kereta ini.

Berikut adalah perjalanan sejarah dan perkembangan KRD Sri Lelawangsa dari awal hingga sekarang:



KRD Sri Lelawangsa
KRD Sri Lelawangsa saat di Stasiun Tebing Tinggi, Januari 2012

Awal Beroperasi

KRD Sri Lelawangsa resmi mulai beroperasi pada 6 Maret 2010. Pada awal peluncurannya, kereta ini dirancang untuk menghubungkan Medan dengan beberapa kota satelit di Provinsi Sumatera Utara, dengan tujuan mendukung mobilitas masyarakat pekerja dan pelajar.

Rute Awal
Pada fase awal, Sri Lelawangsa melayani tiga rute utama:

  • Medan – Binjai
  • Medan – Belawan
  • Medan – Tebing Tinggi

Namun, seiring perkembangan dan evaluasi layanan, rute mengalami perubahan.

  • Rute Medan–Belawan dihentikan sekitar tahun 2019 karena sepinya penumpang.
  • Rute Medan–Tebing Tinggi juga berhenti beroperasi pada tahun yang sama.
  • Saat ini, rute utama yang aktif adalah Medan–Binjai, yang merupakan rute paling padat dan strategis bagi masyarakat suburban Medan.


KRD Sri Lelawangsa

Jenis Kereta dan Kapasitas

KRD Sri Lelawangsa awalnya menggunakan rangkaian Kereta Rel Diesel Non Elektrik (KRDE) buatan PT Industri Kereta Api (INKA). Rangkaian yang digunakan berbentuk seperti KRD lokal, dengan model kereta buatan dalam negeri.

  • Jumlah gerbong: Umumnya terdiri dari 3 hingga 4 kereta penumpang dalam satu rangkaian.
  • Sistem penggerak: Diesel hidrolik.
  • Kelas layanan: KRD Sri Lelawangsa hanya menyediakan kelas ekonomi dengan konfigurasi tempat duduk memanjang (long seat), kapasitas sekitar 300-an penumpang per rangkaian.

Pada perkembangannya, sejak 2020-an, layanan Sri Lelawangsa mulai menggunakan lokomotif Tarik (KA Lokal) dengan kereta kelas Ekonomi New Generation buatan INKA, menggantikan sebagian armada KRD lama yang sudah menua.


Fasilitas

  • Sebagai layanan kereta lokal, fasilitasnya sederhana namun memadai:
  • Tempat duduk berhadap-hadapan (long seat)
  • AC (pada armada kereta baru/New Generation)
  • Toilet
  • Pengamanan oleh petugas KAI dan Polsuska
  • Tarif subsidi dari pemerintah (PSO/ Public Service Obligation)



Meski sempat mengalami insiden tabrakan dan vandalisme beberapa kali, Sri Lelawangsa tetap menjadi pilihan utama transportasi murah dan efisien bagi masyarakat Medan-Binjai. Salah satu tantangan utama layanan ini adalah persaingan dengan angkutan darat lain serta perlunya peremajaan armada secara berkelanjutan.


KRD Sri Lelawangsa menjadi simbol komitmen PT KAI Divre I Sumatera Utara dalam menyediakan transportasi publik yang terjangkau bagi masyarakat urban di Sumatera Utara. Dengan rute Medan–Binjai yang tetap eksis hingga kini, kereta ini berperan penting mengatasi kemacetan dan mendukung aktivitas perekonomian setempat.





Timeline Perkembangan KRD Sri Lelawangsa


Tahun Peristiwa
6 Maret 2010         KRD Sri Lelawangsa resmi beroperasi.
2010–2019         Melayani rute Medan–Binjai, Medan–Belawan, Medan–Tebing Tinggi.
2019         Penghentian rute Medan–Belawan dan Medan–Tebing Tinggi. Tinggal rute                        Medan–Binjai.
2020         Mulai dilakukan penggantian armada dengan kereta ekonomi baru INKA,                            menggunakan sistem lokomotif tarik.
2024–2025         Masih beroperasi melayani rute Medan–Binjai, menjadi andalan masyarakat untuk                 transportasi harian.