Showing posts with label Kisah Stasiun. Show all posts
Showing posts with label Kisah Stasiun. Show all posts

Thursday, May 22, 2025

Stasiun Tebing Tinggi Sumatera Utara dan Turntable Bersejarah

Turntable di Stasiun Tebing Tinggi merupakan bukti kemajuan teknologi era kolonial Belanda
Turntable di Stasiun Tebing Tinggi merupakan bukti kemajuan teknologi era kolonial Belanda. Uniknya, turntable ini dioperasikan secara manual dengan cara diengkol.





Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir
Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir 




Garasi lokomotif (Roundhouse) di sudut Stasiun Tebing Tinggi. Bangunan dan teknologinya sangat bernilai sejarah 


Stasiun Tebing Tinggi dibangun pada awal abad ke-20, stasiun ini tak sekadar menjadi titik keberangkatan dan kedatangan, tapi juga saksi bisu sejarah transportasi rel di Sumatera Utara.

Stasiun Tebing Tinggi (kode: TBI) merupakan stasiun kereta api kelas I yang terletak di Kelurahan Satria, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Stasiun ini berada pada ketinggian +21,50 meter dan termasuk dalam Divisi Regional I Sumatera Utara dan Aceh.


Awal Berdiri: Jejak Kolonial di Atas Rel

Stasiun ini mulai beroperasi pada 6 Agustus 1915, tak lama setelah jalur rel dari Perbaungan ke Tebing Tinggi diresmikan pada 3 Maret 1903 oleh perusahaan kereta api kolonial Belanda, Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)

Stasiun Tebing Tinggi berdiri untuk mendukung mobilitas hasil perkebunan tembakau dan sawit. Membuat stasiun ini langsung menjadi simpul penting dalam jaringan logistik Hindia Belanda.

Bangunannya mengadopsi gaya kolonial klasik: dinding tebal berwarna putih, atap tinggi berjendela besar, dan aula tunggu yang terasa megah di zamannya. 

Di sekeliling stasiun, berdiri rumah-rumah mewah untuk pejabat Belanda dan barak-barak pekerja yang kini menyatu dalam lanskap kota.

Perkembangan dan Modernisasi

Seiring waktu, Stasiun Tebing Tinggi mengalami berbagai transformasi. Dari sistem lokomotif uap yang gemuruh di era awal, berganti ke lokomotif diesel yang efisien. Jalur-jalur lama diperbaiki, dan fasilitas stasiun ditingkatkan untuk mengakomodasi penumpang modern.

Meski begitu, nuansa historis tetap dipertahankan—mengukuhkan identitas stasiun sebagai warisan budaya kota.

Kini, stasiun ini memiliki 6 jalur aktif, menghubungkan Tebing Tinggi dengan berbagai kota besar di Sumatera Utara dan sekitarnya. Dari Medan yang sibuk hingga Tanjungbalai, Rantau Prapat, dan Pematang Siantar. 

Kereta-Kereta yang Singgah

Beberapa kereta api penting yang transit atau berangkat dari Stasiun Tebing Tinggi meliputi:

  • KA Sribilah Utama – menghubungkan Medan dan Rantau Prapat, dengan kenyamanan kelas bisnis dan eksekutif.

  • KA Putri Deli – layanan andalan Medan–Tanjungbalai, lewat jalur datar khas pesisir timur.

  • KA Siantar Ekspres – membawa penumpang dari Medan ke kota berhawa sejuk, Pematang Siantar.

  • KA Datuk Belambangan – kereta lokal yang menyambungkan Tebing Tinggi ke Stasiun Lalang dan sekitarnya.


📜 Timeline Perkembangan Stasiun Tebing Tinggi

  • 3 Maret 1903: Jalur kereta api dari Perbaungan ke Tebing Tinggi dibuka oleh Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), memperluas jaringan kereta api di Sumatera Utara. 

  • 6 Agustus 1915: Stasiun Tebing Tinggi resmi dibuka untuk umum, menjadi titik penting dalam jaringan transportasi kereta api di wilayah tersebut. 

  • Era Kolonial Belanda: Stasiun ini dilengkapi dengan kompleks perumahan pegawai yang luas, termasuk asrama dan rumah mewah untuk pejabat Belanda. 

  • Modernisasi: Stasiun ini mengalami berbagai renovasi dan peningkatan fasilitas untuk meningkatkan kenyamanan penumpang, sambil mempertahankan nilai historis bangunan.


🚆 Layanan Kereta Api di Stasiun Tebing Tinggi

Stasiun Tebing Tinggi melayani berbagai rute kereta api, baik jarak jauh maupun komuter. Beberapa layanan utama meliputi:

Kereta Api Jarak Jauh

  • Sribilah Utama: Menghubungkan Medan dengan Rantau Prapat, dengan pemberhentian di Tebing Tinggi. 

  • Putri Deli: Melayani rute Medan–Tanjungbalai, dengan pemberhentian di Tebing Tinggi. 

Kereta Api Komuter

  • Siantar Ekspres: Menghubungkan Medan dengan Pematang Siantar, melalui Tebing Tinggi. 

  • Datuk Belambangan: Melayani rute Tebing Tinggi–Lalang (PP)


🏗️ Fasilitas dan Infrastruktur

Stasiun Tebing Tinggi memiliki enam jalur kereta api

  • Jalur 1: Sepur lurus dari dan ke arah Medan

  • Jalur 2: Sepur lurus dari dan ke arah Siantar

  • Jalur 3: Sepur lurus dari dan ke arah Kisaran

Stasiun ini juga dilengkapi dengan fasilitas seperti parkir, ruang tunggu, toilet, musala, dan area merokok.


Turntable atau Meja Pemutar Lokomotif, Benda Bersejarah Stasiun Tebing Tinggi

Di sudut Stasiun Tebing Tinggi, Sumatera Utara, terdapat sebuah peninggalan bersejarah yang menjadi saksi kejayaan perkeretaapian masa lalu: meja pemutar lokomotif atau turntable. 

Meja putar ini, berfungsi untuk memutar kepala lokomotif/langsir atau juga untuk menyimpan lokomotif ke garasi lokomotif (Roundhouse) di dekatnya.

Uniknya, turntable ini dioperasikan secara manual dengan cara diengkol, berbeda dengan sistem otomatis yang umum digunakan di tempat lain. Turntable ini terhubung dengan roundhouse atau los bundar yang memiliki delapan pintu, tempat penyimpanan dan perawatan lokomotif.

Kehadiran fasilitas ini menunjukkan bahwa Stasiun Tebing Tinggi pernah menjadi pusat operasional penting bagi Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), perusahaan kereta api swasta Belanda yang beroperasi di Sumatera Utara pada masa kolonial.
 

Dikutip dari Harian Kompas, menurut Ibnu Murti Hariyadi dari Unit Pusat Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia, meja pemutar di Stasiun Tebing Tinggi merupakan satu-satunya yang tersisa di Indonesia dengan desain seperti itu.

Fasilitas ini tidak hanya berfungsi untuk membalik arah lokomotif tetapi juga mengarahkan lokomotif ke delapan jalur rel pendek menuju rumah parkir di dekatnya.
Desain ini mencerminkan pengaruh teknologi perkeretaapian Eropa, seperti yang ditemukan di Inggris, Jerman, Austria, dan Swiss. 

Keberadaan turntable dan roundhouse di Stasiun Tebing Tinggi tidak hanya mencerminkan kemajuan teknologi pada masanya tetapi juga menjadi simbol penting dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.

Fasilitas ini menunjukkan bagaimana infrastruktur perkeretaapian di Sumatera Utara pernah mencapai tingkat kemajuan yang setara dengan standar internasional.


Sebagai bagian dari warisan industri, turntable dan roundhouse ini layak untuk dilestarikan dan dijadikan sebagai situs edukasi serta wisata sejarah bagi generasi mendatang.

Thursday, November 1, 2018

Stasiun Jakarta Kota, Saksi Perubahan Ibu Kota

penumpang memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota
Calon penumpang antre dan "ngetap" tiket untuk memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota.



Di tengah hiruk-pikuk Kota Tua Jakarta yang sesak akan jejak masa lalu dan derap langkah masa kini, berdirilah sebuah bangunan megah nan tenang: Stasiun Jakarta Kota. Sebagian orang masih menyebutnya dengan nama lamanya—Stasiun Beos—sebuah nama yang mengandung kenangan, sejarah, dan perjalanan panjang bangsa ini.

Lahir dari Era Kolonial

Semua bermula hampir seabad lalu. Tahun 1926, di masa Hindia Belanda masih bercokol di Nusantara, dimulailah pembangunan sebuah stasiun modern di jantung Batavia. Arsiteknya bukan orang sembarangan: Frans Ghijsels, maestro arsitektur Belanda yang mengusung gaya Art Deco dengan sentuhan lokal.

Tiga tahun kemudian, tepat pada 8 Oktober 1929, stasiun itu diresmikan. Namanya kala itu adalah Station Batavia Benedenstad. Tapi masyarakat lebih senang menyebutnya Beos, singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api swasta yang pernah beroperasi di timur Batavia.

Dari sinilah, ribuan langkah dimulai. Ribuan cerita dilepas dan ditunggu kembali.

Saksi Bisu Perubahan Zaman

Stasiun ini bukan sekadar tempat naik turun penumpang. Ia adalah saksi diam berbagai babak sejarah negeri ini. Di era pendudukan Jepang, Beos menjadi titik strategis logistik militer. Di masa kemerdekaan, ia menjadi simpul pergerakan para pejuang dan rakyat yang baru mencicipi kata “merdeka”.

Pada tahun-tahun setelahnya, Beos berubah perlahan. Namanya resmi menjadi Stasiun Jakarta Kota. Tapi di hati warga Jakarta dan para penumpangnya, “Beos” tetap hidup—sebagai nama, sebagai kenangan.

Rel dan Arus Manusia yang Tak Pernah Diam

Masuk tahun 1970-an, wajah stasiun mulai bersolek. Layanan kereta diperluas, sistem ditata ulang, tapi bangunan tua itu tetap berdiri anggun di antara bangunan-bangunan yang datang dan pergi.

Di dekade 1990-an hingga 2000-an, Stasiun Jakarta Kota mulai melayani KRL Commuter Line—kereta listrik yang menghubungkan pinggiran kota dengan pusat ibu kota. Setiap pagi dan sore, lautan manusia mengalir masuk dan keluar. Entah untuk bekerja, bersekolah, berdagang, atau sekadar menumpang waktu.

Kereta dari Bogor, Bekasi, Cikarang, dan Depok semua bertemu ujungnya di sini. Di stasiun tua yang masih menyimpan mosaik lantai era kolonial, jendela-jendela tinggi, dan langit-langit lengkung yang menyimpan gema dari masa lalu.

Menjadi Cagar Budaya, Menjadi Warisan

Tahun demi tahun berlalu, hingga pada akhirnya stasiun ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya nasional. Tak boleh diubah sembarangan. Ia bukan hanya milik PT KAI. Ia milik publik. Ia milik sejarah.

Di masa digital seperti sekarang, 2025, Stasiun Jakarta Kota sudah jauh lebih canggih. Ada display digital, e-ticketing, koneksi aplikasi KAI Access, dan sistem informasi modern. Tapi semua itu dipasang tanpa menghapus karakternya. Heritage-nya tetap dijaga. Sebuah kompromi indah antara masa lalu dan masa depan.

Lebih dari Sekadar Tempat Berangkat dan Pulang

Bagi banyak orang, Stasiun Jakarta Kota adalah tempat kenangan bermula. Tempat pertemuan, perpisahan, atau sekadar titik transit menuju destinasi berikutnya.

Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah destinasi itu sendiri.

Di sekitarnya, Kota Tua merentangkan sejarah. Ada Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, kafe tua, jalanan berbatu, dan pesepeda ontel yang menyambut wisatawan. Semua itu dimulai dari langkah pertama keluar dari stasiun ini.



Berikut adalah sejarah lengkap Stasiun Jakarta Kota, dari masa kolonial hingga perkembangan terkini tahun 2025:


🏛️ Sejarah Stasiun Jakarta Kota (Stasiun Beos)

🔹 Awal Mula Pembangunan

  • Tahun pembangunan: Dimulai pada 1926, selesai pada 1929

  • Arsitek: Frans Johan Louwrens Ghijsels, arsitek Belanda terkenal, pendiri AIA (Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau)

  • Gaya arsitektur: Art Deco dengan sentuhan Nieuwe Zakelijkheid (Fungsionalisme Belanda) dan elemen lokal

  • Peresmian: 8 Oktober 1929 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.C.D. de Graeff

  • Nama awal: Station Batavia Benedenstad, dikenal juga sebagai Beos (singkatan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij)

🔹 Fungsi dan Posisi Strategis

  • Merupakan terminal utama kereta api untuk daerah Jakarta Kota dan sekitarnya sejak zaman kolonial

  • Menggantikan fungsi stasiun lama di daerah Batavia yang dibangun oleh perusahaan kereta swasta zaman Belanda

  • Stasiun ini dibangun di pusat Kota Tua, dekat pelabuhan Sunda Kelapa, menjadi simpul utama aktivitas ekonomi dan mobilitas


📜 Perkembangan & Evolusi Hingga 2025

🔸 1930–1945: Era Kolonial Akhir dan Pendudukan Jepang

  • Menjadi simpul penting angkutan barang dan militer

  • Digunakan pula oleh Jepang untuk kepentingan logistik selama Perang Dunia II

🔸 1945–1960: Masa Kemerdekaan dan Nasionalisasi

  • Setelah kemerdekaan, stasiun ini dinasionalisasi dari tangan Belanda

  • Digunakan untuk kepentingan pemerintahan RI dan pengangkutan massa pejuang serta pengungsi

🔸 1970–1990: Revitalisasi Awal dan Perluasan Layanan

  • Perubahan sistem operasional dan peremajaan sarana KA lokal

  • Bertahap menjadi stasiun terminus untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter

🔸 1990–2010: Era Modernisasi

  • Stasiun mulai dipugar namun tetap mempertahankan bentuk asli bangunan kolonialnya

  • Ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah karena nilai historis dan arsitekturalnya

  • Menjadi hub utama untuk KRL Commuter Line Jabodetabek

🔸 2010–2020: Elektrifikasi dan Integrasi Transportasi

  • Menjadi pusat operasional KRL lintas Bogor, Bekasi, dan Serpong

  • Terintegrasi dengan TransJakarta (koridor 1 dan 12), angkot, dan moda lain di kawasan Kota Tua

  • Peron diperpanjang dan ditata ulang untuk mendukung KRL modern

🔸 2020–2025: Transformasi Digital dan Pelestarian Heritage

  • Mulai diberlakukan sistem e-ticketing full digital via KAI Access dan aplikasi KRL Access

  • Proyek revitalisasi bangunan utama (tanpa mengubah fasad heritage) untuk peningkatan kenyamanan

  • Penggunaan PIDS (Passenger Information Display System) modern

  • Penambahan area komersial dan UMKM lokal di sekitar stasiun, mendukung ekowisata Kota Tua

  • Menjadi salah satu ikon wisata sejarah transportasi di Jakarta


🚉 Kereta yang Beroperasi di Stasiun Jakarta Kota (per 2025)

KRL Commuter Line (Start/Finish):

Stasiun Jakarta Kota adalah terminus (stasiun awal/akhir) dari beberapa rute utama KRL:

  1. KRL Commuter Line Bogor (rute: Bogor – Jakarta Kota)

  2. KRL Commuter Line Bekasi via Manggarai (rute: Bekasi – Jakarta Kota)

  3. KRL Commuter Line Cikarang (berhenti di Jakarta Kota lewat Manggarai)

  4. KRL Loop Line (sebelum rute ini dialihkan sebagian karena proyek DDT Manggarai)

KA Lokal dan Jarak Menengah (Historis & Musiman):

  • KA Walahar Ekspres (rute Purwakarta–Jakarta Kota) – sempat beroperasi dari stasiun ini

  • KA Jatiluhur (rute Cikampek–Jakarta Kota) – beberapa kali dialihkan ke stasiun lain

  • KA Feeder lokal atau KA wisata musiman (terutama saat liburan atau acara budaya Kota Tua)


🏙️ Fakta Menarik Stasiun Jakarta Kota

  • Salah satu stasiun tertua di Indonesia yang masih aktif digunakan

  • Dikenal dengan sebutan Stasiun Beos, singkatan dari perusahaan kereta zaman Belanda

  • Memiliki 12 jalur aktif, 5 peron panjang

  • Bangunannya tetap terawat sebagai ikon heritage transportasi nasional


Tuesday, October 30, 2018

Stasiun Besar Medan

Suasana Stasiun Besar Medan pada medio November 2011. Skybridge untuk kereta bandara belum dibangun, jadi view di area ini masih tampak sangat luas.

Friday, June 29, 2018