Wednesday, June 18, 2025

Kereta Taksaka, Legenda Naga Besi yang Setia Melayani Jalur Yogya-Jakarta

 

Kereta Taksaka New Generation
Kereta Taksaka New Generation (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia)

YOGYAKARTA – Di antara hiruk-pikuk stasiun Tugu setiap pagi, ada satu kereta yang selalu dinantikan dengan nuansa lebih elegan: KA Taksaka. Bagi sebagian orang, ini hanyalah kereta eksekutif dari Yogyakarta ke Jakarta. Namun bagi mereka yang setia mengarunginya sejak 1990-an, Taksaka adalah simbol peradaban: kenyamanan, kecepatan, dan prestise dalam satu rangkaian baja.

Kereta ini bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah narasi panjang tentang bagaimana PT Kereta Api Indonesia (KAI) menempatkan Yogyakarta sebagai kota dengan identitas perkeretaapian tersendiri—bukan sekadar penumpang dari skema nasional.


Sejarah KA Taksaka: Dari Mitos ke Realitas

Diluncurkan secara resmi pada 17 Mei 1994, Taksaka hadir menjawab kebutuhan kereta cepat, nyaman, dan penuh prestise di rute selatan Jawa. Namanya diambil dari Taksaka, naga penjaga dalam mitologi Jawa-Hindu. Sebuah simbol yang tidak main-main—ia kuat, berwibawa, dan punya akar budaya.


Nah, tau nggak?! Kenapa Taksaka yang masuk kasta kereta full eksekutif tidak memakai penamaan dengan diksi ARGO?. Alih-alih mengikuti arus nama “Argo” yang sedang dikampanyekan KAI kala itu, manajemen justru memilih tetap menamakan kereta ini dengan TAKSAKA. 

Ternyata, itu untuk memberi identitas kultural yang lebih kuat kepada Yogyakarta. Ya, Taksaka itu bukan hanya nama. Ia karakter.


Rute dan Stasiun Pemberhentian Taksaka

Hingga tahun 2025, KA Taksaka melayani rute Yogyakarta – Jakarta (Stasiun Gambir) sejauh kurang lebih 517 kilometer. Waktu tempuhnya rata-rata 6–8 jam, tergantung jadwal dan kondisi lintas.


Stasiun pemberhentian (tergantung jadwal):

  • Yogyakarta
  • Kutoarjo
  • Purwokerto
  • Cirebon
  • Jatinegara
  • Gambir


Taksaka hingga 2025 memiliki dua varian layanan:

  • Taksaka Pagi: berangkat pagi dari Yogyakarta, tiba siang di Jakarta.
  • Taksaka Malam: berangkat malam, tiba pagi.

Keduanya dirancang untuk menyesuaikan kebutuhan penumpang bisnis dan wisata.


Formasi Rangkaian dan Fasilitas Onboard

Aku mencoba riset kecil-kecil. Hasilnya, KA Taksaka dikenal dengan formasi eksekutif full sejak awal. Per 2025, seluruh gerbong telah menggunakan rangkaian stainless steel generasi terbaru, seperti yang juga digunakan pada Argo Lawu dan Argo Bromo Anggrek.


Formasi Standar Taksaka:

  • 1 Lokomotif (CC206)
  • 1 Kereta Pembangkit (KMP)
  • 1 Kereta Makan & Pembangkit (MP)
  • 6–8 Kereta Eksekutif
  • 1 Kereta Bagasi (kadang disisipkan)


Fasilitasnya mencakup:

  • Reclining seat berbalut kulit sintetis
  • Audio-video entertainment system
  • USB charger di setiap kursi
  • Pendingin udara sentral
  • Toilet ramah disabilitas


Lokomotif yang Pernah Menghela Taksaka

Periode         Lokomotif                 Catatan

1994–2000     BB304, BB301         Digunakan pada masa awal, cepat diganti
                                                                karena kurang bertenaga

2000–2020     CC201, CC203         Lokomotif andalan KAI era reformasi

2020–2025     CC206                         Lokomotif diesel elektrik modern, senyap dan efisien


Taksaka dan Pertarungan Okupansi

Dari riset yang memang tidak ilmiah. Hehehe. Di antara puluhan kereta lintas selatan, Taksaka konsisten masuk 5 besar dalam hal okupansi tertinggi. Pada masa emas (1995–2019), kursi Taksaka selalu penuh di akhir pekan dan musim mudik. Bahkan di luar hari libur, angka keterisian kursi menyentuh 70–85%.

Badai pandemi COVID-19 sempat membuat okupansi anjlok hingga 20%. Layanan sempat dihentikan sementara, sebelum kembali stabil sejak 2023. Peran digitalisasi seperti KAI Access, promosi bundling hotel, dan koneksi antarmoda di stasiun-stasiun penyangga menjadi penyelamat.


Timeline Evolusi KA Taksaka

Tahun                 Peristiwa Penting

1994                 Diluncurkan sebagai kereta eksekutif Yogya–Jakarta

1997                 Layanan ditambah menjadi 2x sehari: Pagi dan Malam

2008                 Renovasi interior kursi, peningkatan AC dan sistem pengereman

2014                 Mulai menggunakan lokomotif CC206

2020                 Layanan berhenti sementara akibat pandemi

2022                 Rangkaian stainless steel generasi baru diperkenalkan

2023                 Okupansi kembali normal, integrasi digital diperkuat

2024                 Sistem hiburan digital onboard diluncurkan

2025                 Konektivitas feeder ke Bandara YIA diuji coba


Mengapa Taksaka Bukan “Argo”?

Seperti di paragraf awal tulisan ini. Mengapa Taksaka tidak memakai diksi ARGO di penamaannya. Pertanyaan ini kerap muncul, mengingat Taksaka menawarkan layanan sekelas Argo namun namanya tidak tersemat kata ARGO. Jawabannya terletak pada strategi branding dan kekuatan identitas lokal.


Berbeda dengan Argo Lawu atau Argo Dwipangga yang lahir di bawah kebijakan "Argo-isasi" kereta eksekutif pada 1995, Taksaka lahir lebih dulu dan telah melekat kuat dengan Yogyakarta.


PT KAI memilih untuk mempertahankan nama ini karena:

  • Sudah punya brand awareness tinggi
  • Mengandung makna budaya lokal
  • Tidak kalah premium dengan Argo dari sisi layanan


Bahkan di kalangan railfans, Taksaka disebut sebagai “Argo-nya Jogja yang menolak jadi Argo”.

Menuruku KA Taksaka merupakan contoh bagaimana kereta api bisa menjadi simbol budaya, bukan sekadar moda transportasi. Dari pengalaman menggunakan jasanya, di setiap rodanya yang berputar di lintas selatan, ia membawa cerita-cerita pagi yang penuh harapan dan malam yang penuh perenungan.
Lebih dari 30 tahun sejak peluncurannya, 

JalurBesi menilai, Taksaka tetap relevan—bukan karena kecepatan semata, tetapi karena kemampuannya menyatu dengan kehidupan para penumpangnya.

Friday, June 13, 2025

Berganti Nama Melintasi Zaman: Kisah Panjang PT Kereta Api Indonesia

Nama bukan sekadar label—ia adalah cerminan zaman. Dan bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI), nama-nama yang pernah disandangnya adalah jejak panjang sejarah bangsa. Hari ini kita mengenalnya sebagai perusahaan transportasi modern, tapi sedikit yang tahu bahwa perjalanan identitas perusahaan ini sudah dimulai sejak era kolonial, melewati masa penjajahan, kemerdekaan, hingga menjadi BUMN strategis di era digital.

Mari kita telusuri bagaimana nama-nama perusahaan kereta api di Indonesia berganti seiring perubahan zaman—dari rel kolonial hingga lintasan cepat masa kini.


Zaman Kolonial: Di Bawah Kendali Belanda

Kisah kereta api Indonesia dimulai di abad ke-19. Saat itu, jalur kereta dibangun oleh berbagai perusahaan milik pemerintah kolonial maupun swasta Belanda.


NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij) – 1864

Perusahaan swasta Belanda ini membangun jalur pertama: Semarang–Tanggung, yang resmi beroperasi 26 Agustus 1867.


SS (Staatsspoorwegen) – 1875

Inilah perusahaan milik negara kolonial yang tumbuh pesat dan menguasai sebagian besar jalur kereta di Jawa, Sumatra, bahkan Sulawesi.


Ada pula operator lain seperti Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS), Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS), dan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)—namun NIS dan SS adalah dua nama besar yang membentuk tulang punggung jaringan rel saat itu.


Masa Pendudukan Jepang: Berganti ke Bahasa Jepang

Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942–1945), semua perusahaan kereta api dinasionalisasi dan dikelola militer Jepang. Namanya berubah menjadi:


Rikuyu Sokyoku 

Secara harfiah berarti “Jawatan Angkutan Darat.” Seluruh jaringan rel dikendalikan langsung oleh otoritas militer Jepang.


Awal Kemerdekaan: Menjadi Milik Bangsa Sendiri

Setelah Proklamasi 1945, kereta api menjadi salah satu simbol yang segera direbut kembali oleh bangsa Indonesia.


Djawatan Kereta Api (DKA) – 28 September 1945

Tanggal ini kini diperingati sebagai Hari Kereta Api Nasional, karena pengambilalihan pertama dilakukan di Stasiun Manggarai, Jakarta.


Setelahnya, seiring dinamika politik dan hukum, namanya terus berubah:


Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) – 1950

Menyesuaikan dengan Undang-Undang Darurat RI No. 9 Tahun 1950.


Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) – 1971

Menjadi bagian dari BUMN, meskipun belum berbentuk persero.


Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) – 1991

Mengadopsi bentuk Perum agar lebih fleksibel secara manajerial dan bisnis.


Masa Reformasi: Menjadi Persero dan Lebih Modern

Masuk ke era baru, transformasi besar dilakukan:


PT Kereta Api (Persero) – 1998

Dibentuk lewat PP No. 19 Tahun 1998, menandai pergeseran ke arah bisnis yang lebih kompetitif.


PT Kereta Api Indonesia (Persero) – 2011

Nama diperpanjang untuk menegaskan identitas nasional. Di sinilah logo KAI berwarna biru-oranye mulai dikenal luas.



Era Holding dan Anak Usaha: Melebarkan Sayap (2017–2025)

KAI tak lagi hanya soal kereta antarkota. Kini mereka punya berbagai anak usaha:

  • KAI Commuter – operator KRL Jabodetabek
  • KAI Wisata – layanan kereta wisata dan charter
  • KAI Logistik (Kalog) – bisnis pengiriman
  • KAI Services – urusan pembersihan, katering, dan hospitality
  • KAI Properti – pengelolaan aset dan lahan


Tahun 2020, KAI juga ditunjuk sebagai operator resmi LRT Jabodebek, memperkuat perannya dalam peta transportasi nasional.


2025: Konsisten dalam Nama, Progresif dalam Layanan

Kini, di tahun 2025, PT Kereta Api Indonesia (Persero) tetap menjadi nama resmi. Tapi di balik nama itu, wajahnya sudah jauh berubah. Digitalisasi tiket, aplikasi KAI Access, elektrifikasi jalur, hingga proyek kereta cepat menunjukkan bahwa KAI serius menatap masa depan.


Dari “Spoorweg” ke “Persero,” dari Semarang-Tanggung hingga Halim-Tegalluar—KAI telah melalui perjalanan panjang. Dan hari ini, ia bukan hanya pengelola rel, tapi juga penjaga sejarah, penyambung bangsa, dan penggerak masa depan.




Timeline Evolusi Nama PT Kereta Api Indonesia

Tahun Nama
    1864         Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS)
    1875         Staatsspoorwegen (SS)
    1942         Rikuyu Sokyoku (Jepang)
    1945         Djawatan Kereta Api (DKA)
    1950         Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA)
    1971         Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)
    1991               Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka)
    1998         PT Kereta Api (Persero)
    2011         PT Kereta Api Indonesia (Persero)

Kereta Api Sawunggalih: Berawal dari Kereta Bisnis Hingga Jadi Andalan Masyarakat Jawa Tengah

KA Sawunggalih
KA Sawunggalih (Sumber Foto: Group Facebook/kereta api



Di tengah hiruk-pikuk moda transportasi yang makin beragam, ada satu nama yang tetap punya tempat khusus di hati masyarakat Jawa Tengah bagian selatan: Kereta Api Sawunggalih.

Menghubungkan Kutoarjo di Purworejo dengan ibu kota Jakarta, kereta ini bukan cuma soal gerbong dan lokomotif—ia adalah bagian dari kehidupan para perantau, para pekerja, dan keluarga yang merindukan kampung halaman.

Awal Lahirnya Kereta Sawunggalih

Perjalanan panjang Sawunggalih dimulai sejak 31 Mei 1977, saat PT Kereta Api (sekarang PT KAI) meluncurkan layanan kereta kelas bisnis bernama “Sawunggalih”. Nama ini diambil dari tokoh legendaris Ki Ageng Sawunggalih, pendiri kerajaan kecil di wilayah Kedu. Sentuhan sejarah ini menjadikan Sawunggalih bukan sekadar alat angkut, tapi juga simbol identitas dan kebanggaan lokal.

Di masa awalnya, Sawunggalih menyasar kalangan menengah yang ingin perjalanan nyaman namun tetap terjangkau. Saat itu, gerbongnya masih berjenis bisnis, tanpa AC. Tapi seiring waktu, ekspektasi penumpang berubah, dan Sawunggalih pun bertransformasi.

Krisis moneter 1998 sempat membuat operasionalnya terguncang. Inovasi seperti layanan Sawunggalih Plus sempat dicoba, tapi tidak bertahan lama. Namun alih-alih tenggelam, nama Sawunggalih justru bangkit lagi lewat penyatuan dengan layanan Kutojaya Bisnis, menjadi Sawunggalih Utama. Puncaknya terjadi pada tahun 2012, ketika kereta ini mulai dilengkapi AC split di kelas bisnis, menaikkan standar kenyamanan yang baru.

Perubahan Besar

Perubahan paling besar terjadi pada 27 Agustus 2018, saat PT KAI melakukan pembaruan besar-besaran. Wajah Sawunggalih berubah total: hadir dengan 2 gerbong eksekutif model baru berbahan stainless steel, serta 5 gerbong ekonomi premium yang tampil lebih elegan. Ekonomi rasa eksekutif. Penumpang kini bisa menikmati kursi reclining, pendingin ruangan, dan interior modern, sejajar dengan kereta jarak jauh lainnya.

Rutenya tetap setia: Kutoarjo – Jakarta Pasar Senen, melewati jalur sibuk seperti Kroya, Purwokerto, Cirebon, hingga Cikarang. Di balik laju kereta, lokomotif legendaris seperti CC 201 dan CC 203 pernah menjadi penarik setia. Kini, perannya dilanjutkan oleh generasi CC 206 yang lebih tangguh.(*)



Okupansi Tetap Tinggi

Lebih dari sekadar alat transportasi, Sawunggalih adalah jembatan harapan dan penggerak ekonomi. Ia menghubungkan kota dan desa, mempertemukan keluarga yang lama terpisah, dan menghidupkan pasar-pasar kecil di sepanjang lintasan selatan Jawa. Tak heran jika okupansinya selalu tinggi—bahkan saat pandemi menerpa, ia tetap jadi pilihan banyak orang.

Kini, di tahun 2025, Sawunggalih bukan lagi sekadar kereta. Ia adalah saksi bisu perjuangan para perantau, napas kehidupan dari Kutoarjo hingga Jakarta, dan tentu saja, kebanggaan warga Kedu.

Sawunggalih, seperti namanya, tetap gagah melaju di rel—mengusung sejarah, harapan, dan masa depan dalam satu perjalanan.

Kesimpulan

KA Sawunggalih tetap menjadi armada legendaris sejak 1977. Upgrade signifikan pada 2018 (new image & premium), peningkatan frekuensi dan kecepatan pada GAPeka 2025, serta okupansi yang tinggi menjadikan layanan ini andalan penghubung Jawa Tengah–Jakarta. Satu rangkaian tetap terdiri dari 7 gerbong, dan ditarik oleh lokomotif diesel-listrik kelas CC.




Sejarah & Awal Operasional

  • Mulai beroperasi sejak 31 Mei 1977, melayani rute Kutoarjo–Jakarta (Pasar Senen) 

  • Versi “Sawunggalih Plus” sempat ada, namun dihentikan sekitar 1999 karena krisis ekonomi 

  • Pasca 2001, mengoperasikan dua rangkaian:

    • Sawunggalih Utama (eksekutif + bisnis)

    • Kutojaya Bisnis (penuh bisnis), kemudian dilebur 

  • Tahun 2012, gerbong bisnis dilengkapi AC split 



Upgrade Gerbong & Formasi Rangkaian

  • 27 Agustus 2018: struktur rangkaian diperbarui:

    • 2 gerbong eksekutif ‘new image’ dan 5 gerbong ekonomi premium (stainless steel) 

  • Kapasitas:

    • Eksekutif: 100 tempat duduk (2×50 kursi)

    • Premium (ekonomi): total 400 tempat duduk 

  • Total satu rangkaian → 7 gerbong, dengan total kursi ±500.


Rute dan Jadwal

  • Rute: Kutoarjo ↔ Pasar Senen, via Purwokerto & Cirebon 

  • Sesuai GAPeka 2025: frekuensi 3 kali PP per hari (dulu 2x) 

  • Kecepatan meningkat hingga 120 km/jam, menjadikan KA tercepat di tujuan tersebut 


Stasiun Pemberhentian

Rangkaian Sawunggalih dengan kombinasi kelas eksekutif dan ekonomi premium berhenti di stasiun berikut (berdampek berdasarkan arah perjalanan):

  • Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang (ditambahkan sejak 19 Juni 2022), Bekasi kadang, Stasiun Pasar Senen 



Lokomotif

  • Awalnya menggunakan lokomotif kelas CC (diesel listrik), seperti CC 201/203 

  • Seiring upgrade, kemungkinan masih mengandalkan CC-series (terutama CC 203/206), tapi tidak ada info spesifik bahwa ada perubahan sampai 2025.

 
Okupansi & Popularitas

  • KA ini “andalan masyarakat Jawa Tengah barat dan selatan” dan memiliki okupansi sangat baik 

  • Contoh 2021: rangkaian dua eksekutif + enam ekonomi, kapasitas 406 orang, dengan okupansi dibatasi 70 % karena pandemi 

  • Hingga 2025, okupansi tetap tinggi karena frekuensi ditambah jadi 6 perjalanan harian (3 PP) .


Ringkasan Tabel

AspekDetail
Mulai operasi31 Mei 1977
Rangkaian per 20252 eksekutif + 5 ekonomi premium (stainless steel) → 7 gerbong
LokomotifDiesel-listrik (CC 201/203/206)
Frekuensi harian3 kali pulang‑pergi (total 6 perjalanan)
RuteKutoarjo–Pasar Senen via sejumlah stasiun utama
Stasiun mampirKutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kroya, Purwokerto, Bumiayu, Ciledug, Cirebon, Cikarang, Pasar Senen
OkupansiTinggi — dibatasi 70 % saat pandemi, kini penuh secara rutin

Sunday, June 1, 2025

Jejak Evolusi Tiket Kereta Api di Indonesia. Dari Era Kolonial Belanda hingga 2025

Tiket kereta api era DNKA hingga tahun 2008
Tiket kereta api era DNKA hingga tahun 2008



Sejak zaman kolonial hingga era digital, tiket kereta api Indonesia telah berevolusi dari karton manual hingga tiket digital berbasis QR & biometrik. 

Setiap fase membawa inovasi yang mempercepat layanan dan meningkatkan keamanan, meski tetap ada tantangan seperti inklusi digital dan sistem downtime.

Berikut adalah sejarah tiket kereta api Indonesia dari zaman kolonial Belanda hingga tahun 2025, mencakup evolusi jenis tiket, teknologi yang digunakan, keunggulan dan kelemahan tiap era, serta timeline implementasi sistem.


1. Era Kolonial Belanda (1864–1942)

Tiket: Kertas Manual (Tiket Karton)

  • Jenis: Tiket karton tebal berukuran kecil.

  • Penerbit: Staatsspoorwegen (SS) dan perusahaan swasta seperti NIS, SCS, ZSS.

  • Proses: Dibeli langsung di stasiun. Tiket disobek atau dicap oleh petugas saat masuk.

  • Teknologi: Manual, tidak ada sistem pencatatan elektronik.

  • Keunggulan: Sederhana dan mudah didistribusikan.

  • Kelemahan: Rentan dipalsukan, tidak ada sistem pelacakan.


2. Masa Pendudukan Jepang (1942–1945)

Tiket: Kertas Manual (dengan Bahasa Jepang)

  • Perubahan: Tiket tetap manual, namun mencantumkan tulisan Jepang dan Indonesia.

  • Teknologi: Masih tradisional. Fokus pada kebutuhan militer Jepang.

  • Kelemahan: Penurunan kualitas layanan, pencatatan dan pengarsipan sangat minim.


3. Awal Kemerdekaan & Orde Lama (1945–1965)

Tiket: Manual – Cap & Tulisan Tangan

  • Pengelola: DKA (Djawatan Kereta Api), kemudian PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api).

  • Tiket: Ditulis tangan, dicap stempel. Beberapa masih menggunakan stok tiket bekas Belanda.

  • Keunggulan: Adaptif dalam kondisi pasca-kemerdekaan.

  • Kelemahan: Tidak efisien, rawan penipuan, tidak tercatat secara sistematis.


4. Masa Orde Baru (1965–1998)

Tiket: Tiket Cetak Mekanis

  • Tahun 1971: PNKA menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api).

  • Tahun 1991: Menjadi PT Kereta Api (Persero).

  • Jenis Tiket: Tiket cetak dengan sistem punch card dan karcis karton.

  • Teknologi: Mesin pencetak tiket semi-mekanis.

  • Keunggulan: Lebih rapi dan mulai terarsip.

  • Kelemahan: Masih perlu antre panjang, tidak fleksibel, rawan calo.


5. Era Digital Awal (1998–2010)

Tiket: Tiket Cetak Komputer

  • Tahun 1999: Mulai uji coba sistem komputerisasi untuk pemesanan.

  • Tahun 2000-an: Tiket sudah berupa print-out dengan barcode.

  • Pembelian: Lewat loket dan agen travel.

  • Keunggulan: Lebih aman, mulai ada data penumpang.

  • Kelemahan: Sistem belum online penuh, butuh cetak fisik.


6. Transformasi Digital (2010–2016)

Tiket: E-ticket (Barcode)

  • 2012: PT KAI luncurkan sistem reservasi online lewat web.

  • 2013: Pembelian tiket bisa lewat minimarket & e-commerce.

  • 2014–2015: Tiket berbentuk e-tiket dengan barcode yang bisa dicetak sendiri (print @ home).

  • Keunggulan:

    • Praktis & fleksibel

    • Data penumpang tercatat

  • Kelemahan:

    • Masih butuh cetak atau tunjukkan PDF di HP


7. Tiket Mobile & Cashless (2016–2020)

Tiket: Mobile Ticketing & QR Code

  • 2016: PT KAI meluncurkan aplikasi KAI Access.

  • 2017: Boarding pass otomatis di stasiun lewat scan e-ticket.

  • Pembayaran: GoPay, LinkAja, kartu debit/kredit.

  • Keunggulan:

    • Tanpa antre

    • Tanpa cetak fisik

    • Real-time update

  • Kelemahan:

    • Bergantung pada HP/internet

    • Sistem error bisa menghambat

Face Recognition Boarding KAI
Face Recognition Boarding KAI (Foto: ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)



8. Era Integrasi Digital & KA Cepat (2020–2025)

Tiket: Full Digital & Smart Ticketing

  • 2021: Integrasi KAI Access dengan PeduliLindungi saat pandemi.

  • 2023: Tiket Whoosh (KA Cepat Jakarta–Bandung) hadir dengan sistem paperless dan biometric scan.

  • 2024: Tiket bisa dibeli lewat aplikasi transportasi terintegrasi (MRT, Transjakarta).

  • 2025: Mulai uji coba pembayaran NFC & face recognition di beberapa stasiun besar.

  • Keunggulan:

    • Cepat, aman, tanpa kontak fisik

    • Bisa integrasi multi-moda

  • Kelemahan:

    • Ketergantungan tinggi pada sistem

    • Masalah digital divide (akses teknologi tidak merata)


🗓️ TIMELINE EVOLUSI TIKET KERETA API INDONESIA

TahunInovasi
1864    Tiket karton manual oleh Staatsspoorwegen
1942    Tiket berbahasa Jepang
1950-an    Tiket tulis tangan dengan cap
1970-an        Tiket cetak mekanik
1999    Komputerisasi tiket
2009    Tiket barcode mulai digunakan
2012    Reservasi online
2016    Aplikasi KAI Access
2019    Full digital boarding pass
2023    Tiket KA Cepat Whoosh: Paperless & biometric
2025    Uji coba face recognition & NFC